Sederet desa pesisir di Kecamatan
Gerokgak Kabupaten Buleleng Bali seperti Pemuteran, Pejarakan, Penyabangan,
Sumberkima hingga Gondol, menyimpan kekayaan berupa aneka warna dan jenis ikan
hias yang banyak diburu. Di kawasan ini pula terdapat sejumlah dive site
yang merupakan tempat favorit bagi para wisman penggemar diving atau
menyelam lantaran keindahan biota lautnya.
Beberapa waktu lalu, saya mencoba menelusuri tentang aktivitas para nelayan ikan hias, yang sebagian bergelut dengan maut untuk menerapkan penangkapan ikan ramah lingkungan, dan sebagian lagi cari enak sendiri dengan main tebar potas atau racun untuk menangkap ikan sehingga merusak biota laut.
Permintaan
yang begitu tinggi serta booming bisnis akuarium laut sejak sepuluh
tahun silam tentu saja melambungkan pasar ikan hias laut, dan membuat para
nelayan di kawasan ini beralih memburu ikan hias.
Namun, banyak diantara mereka
memakai jalan pintas. Mereka menggunakan dua bahan terlarang yakni bahan
peledak, dan potassium sianida untuk menangkap ikan. Tentu saja penggunaan
bahan berbahaya itu ada alasannya.
Menurut Saiful Anam, Ketua Kelompok
Nelayan Ikan Hias Laut Lestari Batu Ampar Pejarakan, awalnya menangkap
ikan dengan bom maupun potas dirasa
menyenangkan dan efisien. “Lagipula, ada beberapa jenis ikan yang susah
ditangkap dengan jaring biasa karena bersembunyi di karang atau lumpur. Jadi
perlu potas untuk menangkapnya,”ujarnya beberapa waktu lalu.
Dengan racun yang ditebar di
bawah karang laut sedalam antara 7-10 meter itu, ikan menjadi setengah mabuk
dan melayang-layang sehingga mudah ditangkap. Begitu pula dengan penggunaan
bahan peledak yang caranya hampir sama. “Tangkapan juga banyak, termasuk jenis
ikan yang sulit ditangkap dan mahal harganya,”ujar Saiful mengenang saat-saat
dirinya menggunakan bahan berbahaya itu beberapa tahun lalu.
Namun, akibat penggunaan bahan
beracun yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun itu, terumbu karang dan
ekosisitem laut pun rusak parah. Berdasar penelitian, setidaknya areal terumbu
karang seluas 206 hektare rusak berat. Penelitian lain menyebutkan, bahwa
tutupan karang yang hidup di kawasan itu hanya tinggal mencapai 10,7 persen
saja dari luas totalnya.
Walhasil, dengan rusaknya terumbu
karang yang menjadi rumah ikan, menyebabkan jumlah ikan hias juga turun
drastis. Beruntung, setelah pemerintah daerah dan sejumlah lembaga melakukan
penyuluhan dan pengawasan dengan ketat,
sedikit demi sedikit pola penangkapan ikan tidak ramah lingkungan itu bisa
dikurangi.
Seperti yang terjadi di Desa
Penyabangan. Empat lembaga yakni LEAD Indonesia, Marine Aquarium Council (MAC)
Denpasar, Reef Check, serta Lembaga Pilang Gerokgak merintis usaha penangkapan
ikan ramah lingkungan atau disebut ecofish. Mereka melakukan pelatihan
tentang praktik penangkapan ikan hias ramah lingkungan kepada nelayan setempat
dan melakukan sertifikasi.
Artinya mereka yang telah
tersertifikasi itu telah memiliki pemahaman mengenai pengelolaan ekosistem,
penangkapan ikan dan pengangkutan yang mendukung bisnis ecofish.
Hasilnya pun mulai terlihat.
Selain tutupan terumbu karang yang mulai pulih karena nelayan banyak membangun
rumpon-rumpon, kini populasi serta tangkapan ikan hias mulai meningkat. Namun,
ada surprise yang lebih menggembirakan bagi para nelayan ini, yakni munculnya
sejumlah ikan langka yang sudah belasan tahun terakhir tak pernah mereka
ditemui
Menurut Abu Kasim, 36, nelayan
Penyabangan, salah satu jenis ikan langka yang muncul adalah ikan piama (Pomachantus Navarchus). “Sudah
sekitar 13 tahun ikan ini tidak muncul lagi,”ujarnya. Begitu juga dengan
sejumlah ikan lainnya seperti ikan Tombak Kuncir dan Kuda Akar yang sudah
puluhan tahun lenyap, namun kini muncul lagi. Ini tentu menjadi hal yang
menggembirakan bagi mereka lantaran ikan langka itu dihargai mahal oleh para
pengepul.
Namun, meski warga sudah berusaha
melakukan penangkapan ramah lingkungan, mereka mengeluhkan masih banyaknya
nelayan yang tidak fair dalam bisnis ikan hias. Masih banyak desa lain yang
masih menggunakan sianida dalam penangkapan ikan hias. Menurut Ni Wayan
Indrayani aktivis Lembaga Peduli Alam dan Lingkungan (Pilang) Gerokgak,
penerapan standar ramah lingkungan belum memberikan jaminan pendapatan bagi
nelayan.
Dari segi hasil dan jumlah
tangkapan, nelayan ramah lingkungan itu kalah jauh bila dibandingkan dengan nelayan lain yang
bekerja dengan potas. Bila menggunakan potas, seorang nelayan bisa mendapatkan
ikan senilai Rp 70 ribu hingga Rp 120 ribu sehari per nelayan. Sementara mereka
yang menangkap dengan cara ramah lingkungan, yakni menyelam dan menjaring saja,
hanya mampu mendapatkan Rp 25 ribu saja dalam tiga jam menyelam.
“Sementara, harga di pasaran
tetap sama dengan ikan yang ditangkap dengan potas. Padahal dari segi kualitas
dan dampak lingkungan yang ditimbulkan berbeda jauh,”ujar Indra sapaan akrab
wanita yang sudah bertahun-tahun melakukan pendampingan terhadap nelayan di
Gerokgak.
Sementara Saiful Anam, Ketua
Kelompok Nelayan Ikan Hias Laut Lestari Batu Ampar Pejarakan, mereka juga mengeluhkan
ikan yang dibawa oleh para nelayan bermodal besar dari desa lain. Dengan
kelebihannya, mereka bisa berburu ikan hias hingga jauh ke luar Bali, misalnya
hingga ke perairan Papua atau Kalimantan.
Dengan anak buah kapal (ABK) antara 15-20 nelayan, mereka mampu melaut dalam
jangka waktu setengah hingga satu bulan.
Bila pulang mereka bisa membawa
antara 6.000-10.000.ekor ikan hias yang sebagian besar tidak ada di perairan Bali. Yang membuat resah, papar Saiful, ikan-ikan
sebrangan itu bukan ecofish atau kebanyakan masih ditangkap dengan
menggunakan potas. Darimana bisa diketahui bahwa ikan itu ditangkap dengan
potas ?
Menurut dia, terdapat ciri-ciri
tertentu yang bisa dilihat pada ikan potasan atau ikan yang ditangkap
dengan potas. Yang paling kentara, ikan-ikan itu terlihat tidak sehat atau
setengah mabuk. Sebab kandungan racun pada potas itu membuat ikan-ikan klenger.
Sementara ciri lainnya, bila dosis racun yang dipakai sangat kuat, maka dari
sisik-sisik ikan itu keluar darah kemerah-merahan.
Sementara, harga di pasaran
ikan-ikan itu sama dengan yang ditangkap oleh Saiful dan anggota kelompok Laut
lestari lainnya yang sudah ecofish. “Kalau bersaing dengan fair atau
jujur kami masih bisa. Tapi semua ikan dipukul rata, cara penangkapan tidak
dipedulikan. Itu yang kedang membuat kami putus asa,”keluhnya.
Apalagi sebagian besar nelayan di
Pejarakan, Penyabangan hingga Sumberkima adalah nelayan miskin, yang sebagian
bahkan tidak mempunyai perahu. Mereka hanya mampu menyelam di sepanjang
perairan Gerokgak saja. Nelayan yang tidak mempunyai alat selam, hanya
menggunakan alat snorkling dengan maksimal kedalaman meyelam adalah
sekitar 5-7 meter.
Sementara, sebagian lagi yang
memiliki alat, bisa menyelam hingga kedalaman 15-20 meter sehingga hasil
tangkapannya lebih variatif. Namun jangan Anda bayangkan peralatan selam yang
mereka miliki itu adalah tabung oksigen sebagaimana biasa digunakan untuk
menyelam. Yang digunakan oleh para nelayan ini adalah kompresor seperti yang
digunakan di bengkel-bengkel motor.
Dari kompresor yang ditempatkan di atas kapal itu, oksigen
disalurkan dengan selang yang panjangnya sekitar 100 meter. Di ujung selang
tersambung masker yang kemudian digunakan untuk pernafasan bagi nelayan yang
tugasnya menyelam. Nah, sambil membawa jaring dan peralatan lain, mereka
kemudian menyelam untuk berburu ikan hias. “Sekali menyelam, sedikitnya
dilakukan tiga orang dua. Dua menyelam, satu berjaga di atas perahu,”ujar Misnawi, seorang nelayan
lainnya.
Orang yang diatas perahu,
bertugas menjaga agar kompresor tetap hidup untuk pasokan oksigen. Sebab, disitulah ‘hidup-mati’ para penyelam
yang berada di kedalaman hingga puluhan meter dijaga. Tak sedikit kecelakaan
yang terjadi dan membuat sejumlah nelayan yang tengah menyelam meregang
nyawa. *
(tulisan ini pernah dimuat di Harian NusaBali)