Selasa, 17 Januari 2012

Menengok Pergulatan Nelayan Ikan Hias di Pesisir Gerokgak Buleleng


Sederet desa pesisir di Kecamatan Gerokgak Kabupaten Buleleng Bali seperti Pemuteran, Pejarakan, Penyabangan, Sumberkima hingga Gondol, menyimpan kekayaan berupa aneka warna dan jenis ikan hias yang banyak diburu. Di kawasan ini pula terdapat sejumlah dive site yang merupakan tempat favorit bagi para wisman penggemar diving atau menyelam lantaran keindahan biota lautnya. 

Beberapa waktu lalu, saya mencoba menelusuri tentang aktivitas para nelayan ikan hias, yang sebagian bergelut dengan maut untuk menerapkan penangkapan ikan ramah lingkungan, dan sebagian lagi cari enak sendiri dengan main tebar potas atau racun untuk menangkap ikan sehingga merusak biota laut.
Permintaan yang begitu tinggi serta booming bisnis akuarium laut sejak sepuluh tahun silam tentu saja melambungkan pasar ikan hias laut, dan membuat para nelayan di kawasan ini beralih memburu ikan hias.
Namun, banyak diantara mereka memakai jalan pintas. Mereka menggunakan dua bahan terlarang yakni bahan peledak, dan potassium sianida untuk menangkap ikan. Tentu saja penggunaan bahan berbahaya itu ada alasannya.
Menurut Saiful Anam, Ketua Kelompok Nelayan Ikan Hias Laut Lestari Batu Ampar Pejarakan, awalnya menangkap ikan  dengan bom maupun potas dirasa menyenangkan dan efisien. “Lagipula, ada beberapa jenis ikan yang susah ditangkap dengan jaring biasa karena bersembunyi di karang atau lumpur. Jadi perlu potas untuk menangkapnya,”ujarnya beberapa waktu lalu.
Dengan racun yang ditebar di bawah karang laut sedalam antara 7-10 meter itu, ikan menjadi setengah mabuk dan melayang-layang sehingga mudah ditangkap. Begitu pula dengan penggunaan bahan peledak yang caranya hampir sama. “Tangkapan juga banyak, termasuk jenis ikan yang sulit ditangkap dan mahal harganya,”ujar Saiful mengenang saat-saat dirinya menggunakan bahan berbahaya itu beberapa tahun lalu.
Namun, akibat penggunaan bahan beracun yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun itu, terumbu karang dan ekosisitem laut pun rusak parah. Berdasar penelitian, setidaknya areal terumbu karang seluas 206 hektare rusak berat. Penelitian lain menyebutkan, bahwa tutupan karang yang hidup di kawasan itu hanya tinggal mencapai 10,7 persen saja dari luas totalnya.
Walhasil, dengan rusaknya terumbu karang yang menjadi rumah ikan, menyebabkan jumlah ikan hias juga turun drastis. Beruntung, setelah pemerintah daerah dan sejumlah lembaga melakukan penyuluhan dan pengawasan  dengan ketat, sedikit demi sedikit pola penangkapan ikan tidak ramah lingkungan itu bisa dikurangi.
Seperti yang terjadi di Desa Penyabangan. Empat lembaga yakni LEAD Indonesia, Marine Aquarium Council (MAC) Denpasar, Reef Check, serta Lembaga Pilang Gerokgak merintis usaha penangkapan ikan ramah lingkungan atau disebut ecofish. Mereka melakukan pelatihan tentang praktik penangkapan ikan hias ramah lingkungan kepada nelayan setempat dan melakukan sertifikasi.
Artinya mereka yang telah tersertifikasi itu telah memiliki pemahaman mengenai pengelolaan ekosistem, penangkapan ikan dan pengangkutan yang mendukung bisnis ecofish.
Hasilnya pun mulai terlihat. Selain tutupan terumbu karang yang mulai pulih karena nelayan banyak membangun rumpon-rumpon, kini populasi serta tangkapan ikan hias mulai meningkat. Namun, ada surprise yang lebih menggembirakan bagi para nelayan ini, yakni munculnya sejumlah ikan langka yang sudah belasan tahun terakhir tak pernah mereka ditemui
Menurut Abu Kasim, 36, nelayan Penyabangan, salah satu jenis ikan langka yang muncul adalah ikan piama  (Pomachantus Navarchus). “Sudah sekitar 13 tahun ikan ini tidak muncul lagi,”ujarnya. Begitu juga dengan sejumlah ikan lainnya seperti ikan Tombak Kuncir dan Kuda Akar yang sudah puluhan tahun lenyap, namun kini muncul lagi. Ini tentu menjadi hal yang menggembirakan bagi mereka lantaran ikan langka itu dihargai mahal oleh para pengepul.
Namun, meski warga sudah berusaha melakukan penangkapan ramah lingkungan, mereka mengeluhkan masih banyaknya nelayan yang tidak fair dalam bisnis ikan hias. Masih banyak desa lain yang masih menggunakan sianida dalam penangkapan ikan hias. Menurut Ni Wayan Indrayani aktivis Lembaga Peduli Alam dan Lingkungan (Pilang) Gerokgak, penerapan standar ramah lingkungan belum memberikan jaminan pendapatan bagi nelayan.
Dari segi hasil dan jumlah tangkapan, nelayan ramah lingkungan itu kalah jauh  bila dibandingkan dengan nelayan lain yang bekerja dengan potas. Bila menggunakan potas, seorang nelayan bisa mendapatkan ikan senilai Rp 70 ribu hingga Rp 120 ribu sehari per nelayan. Sementara mereka yang menangkap dengan cara ramah lingkungan, yakni menyelam dan menjaring saja, hanya mampu mendapatkan Rp 25 ribu saja dalam tiga jam menyelam.
“Sementara, harga di pasaran tetap sama dengan ikan yang ditangkap dengan potas. Padahal dari segi kualitas dan dampak lingkungan yang ditimbulkan berbeda jauh,”ujar Indra sapaan akrab wanita yang sudah bertahun-tahun melakukan pendampingan terhadap nelayan di Gerokgak.
Sementara Saiful Anam, Ketua Kelompok Nelayan Ikan Hias Laut Lestari Batu Ampar Pejarakan, mereka juga mengeluhkan ikan yang dibawa oleh para nelayan bermodal besar dari desa lain. Dengan kelebihannya, mereka bisa berburu ikan hias hingga jauh ke luar Bali, misalnya hingga ke perairan Papua atau Kalimantan. Dengan anak buah kapal (ABK) antara 15-20 nelayan, mereka mampu melaut dalam jangka waktu setengah hingga satu bulan.
Bila pulang mereka bisa membawa antara 6.000-10.000.ekor ikan hias yang sebagian besar tidak ada di perairan Bali. Yang membuat resah, papar Saiful, ikan-ikan sebrangan itu bukan ecofish atau kebanyakan masih ditangkap dengan menggunakan potas. Darimana bisa diketahui bahwa ikan itu ditangkap dengan potas ?
Menurut dia, terdapat ciri-ciri tertentu yang bisa dilihat pada ikan potasan atau ikan yang ditangkap dengan potas. Yang paling kentara, ikan-ikan itu terlihat tidak sehat atau setengah mabuk. Sebab kandungan racun pada potas itu membuat ikan-ikan klenger. Sementara ciri lainnya, bila dosis racun yang dipakai sangat kuat, maka dari sisik-sisik ikan itu keluar darah kemerah-merahan.
Sementara, harga di pasaran ikan-ikan itu sama dengan yang ditangkap oleh Saiful dan anggota kelompok Laut lestari lainnya yang sudah ecofish. “Kalau bersaing dengan fair atau jujur kami masih bisa. Tapi semua ikan dipukul rata, cara penangkapan tidak dipedulikan. Itu yang kedang membuat kami putus asa,”keluhnya.
Apalagi sebagian besar nelayan di Pejarakan, Penyabangan hingga Sumberkima adalah nelayan miskin, yang sebagian bahkan tidak mempunyai perahu. Mereka hanya mampu menyelam di sepanjang perairan Gerokgak saja. Nelayan yang tidak mempunyai alat selam, hanya menggunakan alat snorkling dengan maksimal kedalaman meyelam adalah sekitar 5-7 meter.
Sementara, sebagian lagi yang memiliki alat, bisa menyelam hingga kedalaman 15-20 meter sehingga hasil tangkapannya lebih variatif. Namun jangan Anda bayangkan peralatan selam yang mereka miliki itu adalah tabung oksigen sebagaimana biasa digunakan untuk menyelam. Yang digunakan oleh para nelayan ini adalah kompresor seperti yang digunakan di bengkel-bengkel motor. 

Dari kompresor yang ditempatkan di atas kapal itu, oksigen disalurkan dengan selang yang panjangnya sekitar 100 meter. Di ujung selang tersambung masker yang kemudian digunakan untuk pernafasan bagi nelayan yang tugasnya menyelam. Nah, sambil membawa jaring dan peralatan lain, mereka kemudian menyelam untuk berburu ikan hias. “Sekali menyelam, sedikitnya dilakukan tiga orang dua. Dua menyelam, satu berjaga di atas  perahu,”ujar Misnawi, seorang nelayan lainnya.
Orang yang diatas perahu, bertugas menjaga agar kompresor tetap hidup untuk pasokan oksigen.  Sebab, disitulah ‘hidup-mati’ para penyelam yang berada di kedalaman hingga puluhan meter dijaga. Tak sedikit kecelakaan yang terjadi dan membuat sejumlah nelayan yang tengah menyelam meregang nyawa.

(tulisan  ini pernah dimuat di Harian NusaBali)

Kasino Genting, dari Roullete Pemula hingga Gambler Miliarder Jaringan Macau


Melalui Genting Highland, pemerintah Malaysia mampu meraup devisa besar dan sukses mendongkrak kunjungan wisatawan asing. Untuk menuju ke Genting Highland yang berada di ketinggian lebih dari 2.000 meter di atas permukaan laut (dpl) ini, diperlukan waktu sekitar satu hingga satu setengah jam dari Kuala Lumpur.
Menurut Siti Sarah binti Azman, pemandu wisata dari salah satu agency yang mendampingi saya selama di Malaysia, Genting digagas oleh taipan Lim Goh Tong, pada sekitar tahun 1970-an. Lim yang pernah menjadi orang terkaya di Malaysia, mencatatkan sejarah fenomenal saat behasil melobi pemerintah Malaysia untuk membangun kawasan Genting, dan menggandeng group kasino Macau untuk mendirikan kasino di Genting.
Ada banyak hotel di genting seperti Hotel Highlands, Hotel Resort, Hotel Theme Park, Awana Genting, dan Hotel First World. Di masing-masing hotel itu juga memiliki kamar-kamar untuk berjudi. Tapi hotel yang terakhir disebut inilah yang merupakan pioner, menjadi pusat keramaian dan yang paling terbesar. “First World Hotel memiliki 6.118 kamar, dan tercatat Guinness World Records sebagai hotel terbesar di dunia,” papar Sarah.
Hotel First World ini pula yang saya kunjungi di mana di dalamnya terdapat kasino Starworld Genting. Meski dikenal sebagai kawasan perjudian, namun Genting memiliki beragam jenis hiburan untuk keluarga. Mulai dari mal perbelanjaan First World Plaza, hingga taman bermain yang buka selama 24 jam nonstop!
“Inilah yang disebut integrated recreation centre. Jadi tak sekadar kasino tapi juga objek rekreasi untuk keluarga sehingga pasarnya menjadi lebih luas,” ujar seorang praktisi dan pengusaha pariwisata asal Bali yang bersama saya dalam rombongan. Ini menurutnya merupakan sebuah strategi yang diterapkan pengelola Genting. Sehingga ketika para suami tengah bermain judi, para istri bisa berbelanja atau shopping, sementara anak-anak bermain. 

Apalagi, arena hiburan untuk anak-anak termasuk superlengkap, mulai dari roller coaster, theme park ala Disney World, hingga sky venture (terbang dalam sebuah tabung bertekanan udara). Pun dengan both atau stand pusat perbelanjaan yang menawarkan barang-barang bermerek kelas dunia.
Sementara, kasino yang saya masuki adalah Starworld. Untuk masuk ke kasino ini syaratnya cukup ketat. Dresscode atau pakaian wajib adalah mesti baju yang berkerah, berusia minimal 21 tahun dan tentu bukan warga negara Malaysia Muslim, yang dibuktikan dengan menunjukkan paspor.
Yang juga dilarang keras adalah membawa kamera dan mengambil gambar di dalam kasino. “Bila memotret, bisa ditangkap dan dihukum,” ujar Sarah sebelum memandu masuk ke dalam. Sementara di dalam kasino, ada ribuan jenis mesin perjudian dan permainan ketangkasan. Mulai dari yang untuk pemula, hingga para penjudi yang memang serius ingin berburu ringgit.
Tepat di area pintu masuk, tampaknya sengaja dipasang jenis-jenis judi yang ‘ringan’ untuk para pemula atau penggembira. Misalnya jenis roulette atau putaran roda, hingga model ‘bola adil’ seperti yang ada di Bali. Taruhan minimal yang bisa dipasang untuk jenis judi ringan ini adalah RM 20 atau setara dengan Rp 58 ribu (kurs 1 RM : Rp 2.900).
Pengunjung di area ini mesti membawa uang cash (tidak bisa menggunakan kartu kredit) yang kemudian ditukar dengan koin kepada operator untuk bermain. Koin terkecil harganya adalah RM10, sehingga sekali bertaruh, minimal dipasang dua koin.
Seperti yang diketahui, warga Muslim Malaysia dilarang berada di tempat ini, bahkan untuk melihat-lihat sekalipun, apalagi untuk bekerja. Hal ini pun berpengaruh terhadap tenaga kerja yang mengoperasikan atau karyawan kasino, yang mayoritas adalah keturunan Tionghoa. Bila terlihat muka-muka Melayu yang bekerja di kasino ini, biasanya adalah dari Singapura atau sebagian kecil dari Indonesia.
Kembali ke masalah mesin judi, para pemula atau yang baru pertamakali berkunjung biasanya paling suka menjajal judi kecil-kecilan seperti roullete ini, sebelum meningkat ke mesin-mesin lain yang mungkin belum pernah dicobanya. Bila angka atau taruhan yang dipasang keluar, maka dari koin yang dipasang bisa menang tiga hingga empat kali lipat dan seterusnya, atau tergantung angka yang sudah dipatok oleh operator.
Koin-koin ini nantinya bisa ditukarkan dengan uang cash ringgit di tempat penukaran. Bilapun menang, lantaran masih tergolong judi ecek-ecek dan coba-coba, biasanya pengunjung hanya meraup sekitar Rp 4-7 juta saja di area ini.
Sementara di area lain, jenis-jenis judi yang lebih ‘berat’ seperti blackjack, poker, baccarat, hingga mesin-mesin jackpot (di Indonesia terkenal dengan dingdong) siap menunggu pengunjung yang hendak menjajal peruntungannya. Untuk bermain di sini, taruhan minimal juga mulai naik yakni RM50 atau setara Rp 145.000.
Sehingga bila menang atau kalah, total nominalnya belasan atau puluhan juta rupiah. Seorang pengunjung asal Indonesia mengaku, dirinya bisa menghabiskan RM 2.000-3000 atau maksimal Rp 9 juta bila bermain di kasino ini.
Menariknya, seperti yang saya amati, setiap beberapa jam atau beberapa kali putaran, para operator selalu dirolling atau diganti. Para operator yang kebanyakan adalah gadis-gadis Tionghoa yang cantik ini, sepertinya terus diputar menyesuaikan kondisi dan keadaan.
“Para operator ini diawasi oleh koordinator, mereka dirolling dengan melihat kondisi lawan. Kalau lawan sudah banyak menang, biasanya diganti dengan yang lebih berpengalaman,” bisik salah satu pemain asal Indonesia yang tengah bermain judi jenis blackjack.
Ruangan kasino yang dibagi dua area, smoking dan non smoking area ini, meski sangat ramai dan meraup pendapatan besar, ternyata bukanlah kasino yang sesungguhnya. Sebab, di area lain yang tidak bisa dimasuki sembarang orang, club gambler yang sesungguhnya berada. Mereka berada di ruangan lain yang pintu keluar masuknya pun khusus.

Mereka adalah para penjudi kelas wahid bermodal besar yang dikoordinir oleh jaringan Macau. Sumber saya yang pernah memandu para gambler kelas kakap ini menyebut, mereka ini adalah member khusus atau memiliki kartu keanggotaan, di mana mereka mesti membayar iuran tahunan dan memiliki bank guarantie (jaminan bank).
“Kalau yang ini modalnya miliaran, mereka sudah terjadwal mainnya. Tanpa membawa uang cash, tinggal transfer-transferan dan ter-integrated dengan kartu member mereka itu,” papar sumber tadi. Kebanyakan, mereka berasal dari RRC dan keturunan Tionghoa dari berbagai dunia.
Menariknya, cukup banyak juga warga dari Indonesia yang menjadi member atau kerap menyempatkan diri mengadu peruntungan di kasino Genting ini. Menurut praktisi pariwisata, setiap week end (akhir pekan) penerbangan dari Denpasar, Jakarta, Surabaya, dan Medan ke Kuala Lumpur selalu full. Mereka banyak berakhir pekan di Genting terutama adalah para warga keturunan Tionghoa.
Namun terlepas dari semua itu, Malaysia membuktikan dengan law enforcement yang dilakukannya, terbukti mampu meminimalisir efek negatif termasuk perjudian, sehingga sukses mengelola pariwisata tanpa merusak budaya dan lingkungannya. *

(tulisan ini dimuat di Harian NusaBali edisi 15 Januari 2012)